METROPOLIS
Sisa Material Galodo Mengancam
Sekber PA: Illegal Logging Telah Berlangsung Lama
Padang Ekspres • Selasa, 11/09/2012 11:43 WIB • • 360 klik
Batubusuk, Padek—Banjir bandang atau galodo pada 24 Juli lalu, menyisakan ancaman bencana ekologi yang nyata. Material galodo
tak hanyut hingga ke muara, justru menumpuk di beberapa titik
sepanjang aliran Sungai Padangjaniah, salah satu sumber Batang
Kuranji.
Demikian temuan hasil ekspedisi yang
dilakukan Sekretaris Bersama (Sekber) Pecinta Alam Sumatera Barat
(Sumbar) di sepanjang aliran Sungai Padangjaniah, beberapa hari yang
lalu. Tim ekspedisi yang dikoordinatori Rico Rahmad, beranggotakan Hanavi, Wilbran, Nof dan Yose.
Tim ekspedisi menemukan banyak titik
longsoran di punggung-punggung bukit yang berjejer dari Patamuan
hingga perbatasan Kabupaten Solok. Dampak galodo juga menyebabkan
pelebaran sungai dengan skala kecil hingga dua kali lapangan
sepakbola. Gelondongan kayu bekas ditebang secara ilegal maupun yang
tercerabut dari akarnya karena derasnya arus air menumpuk di badan
sungai yang berjumlah puluhan titik. Dikitari bebatuan berdiameter
kecil hingga besar sangat potensial terbentuknya embung-embung, atau
titik tumpukan air.
“Galodo juga mengikis pinggiran sungai sepanjang 8 kilometer ke hulu tersebut. Tak hanya menyebabkan pohon bertumbangan, galodo juga menimbulkan erosi di sejumlah titik di pinggir sungai.
Di sela-sela punggungan bukit juga
bermunculan anak sungai baru yang diduga berasal dari mata air di
perbukitan,” jelas Rico Rachmad dalam konferensi pers di Sekratariat
Bivac, Ulakkarang, kemarin.
Ekspedisi empat hari ini (31/8 sampai
3-9) juga menemukan kayu dalam proses penebangan, kayu olahan
berjenis 6x10 dan 6x12 sekitar 15 kubik kayu.
Berdasarkan observasi, penebangan kayu
dilakukan dengan sistem tebang pilih. Meski demikian, pada ketinggian
di atas 300 Mdpl, kondisi hutan masih rapat. “Di ketinggian 400 Mdpl,
tim juga mencium aroma belerang. Semakin ke atas, aroma tersebut
semakin menyengat. Diduga aroma belerang berasal dari arah timur atau
dekat perbatasan dengan Kabupaten Solok. Tim juga menemukan serpihan
jenis bebatuan gunung api (pembekuan larva) pada ketinggian 600 Mdpl
hingga 1.000 Mdpl dan jejak harimau dan rusa pada ketinggian 400 Mdpl
hingga 800 Mdpl,” jelasnya.
Menurut analisa tim Sekber, galodo
disebabkan oleh kondisi curah hujan yang sangat besar yang disertai
angin kencang yang mengakibatkan runtuhnya tebing perbukitan dengan
kemiringan 80-90 derajat.
Potensi Bencana
Melihat banyaknya kayu-kayu yang
melintang pada aliran sungai dan banyaknya tumpukan kayu-kayu besar,
mencapai diameter 4 meter, disertai dengan bebatuan besar dan material
batu yang menumpuk di sepanjang aliran Sungai Padangjaniah, berpotensi
besar terjadi embung (titik kumpul air) yang sewaktu-waktu bisa
memicu galodo lebih besar dengan membawa material kayu dan batu.
Di samping itu, beber Rico, masih
banyaknya retakan-retakan yang menganga di 7 titik bukit (seperti, Bukit
Tindawan, Bukit Acak, Bukit Kapalo Cubadak). Retakan tersebut
terlihat pada punggungan dan lembah perbukitan. Dampak penebangan
kayu di hutan mengakibatkan debit air sungai turun naik, serta
degradasi pohon penyanggah.
“Sebelum terjadinya bencana banjir bandang atau galodo,
di kawasan Batubusuk (aliran Sungai Padangkaruah dan Padangjaniah)
hampir tiap hari terjadi pembalakan liar. Menurut seorang penduduk yang
tidak mau disebutkan namanya, tiap hari ada sekitar 15 kubik kayu yang
dihasilkan dari illegal logging,” ungkap Rico.
Pada umumnya, kayu diambil dari hutan
lindung di sekitar area kedua sumber Batang Kuranji tersebut. Dari
penelusuran Rico dkk, warga Batubusuk yang berjumlah sekitar 150 KK, 90
persen terlibat dalam penebangan liar tersebut. Proses pengambilan kayu
dilakukan secara manual dengan menggunakan gergaji mesin (chin shaw). Jumlah chinshaw yang beroperasi setiap hari mencapai 15 unit dengan 50 orang pekerja.
“Proses pengangkutan kayu dilakukan
melalui aliran sungai. Setibanya di bendungan PLTA Kuranji milik PT
Semen Padang, kayu-kayu tersebut dihanyutkan melalui boad atau dalam parit yang mengalir hingga ke turbin,” tambah Hanavi.
Penampung kayu hasil illegal logging
berada dekat sebuah mushala Patamuan. Di sana kayu diolah dan dijual
sesuai pesanan. “Tokenya adalah seorang tokoh masyarakat setempat,”
ujar Rico.
Upah pengangkutan kayu Rp 150 ribu per
kepala. Biasanya tiap tim berjumlah 6 orang dengan total biaya angkut
ke bendungan Rp 800 ribu per kubik. “Menurut warga setempat,
penebangan kayu sudah ada sejak tahun 1950-an. Akibat penebangan liar,
sumur gali warga sekitar sering mengalami kekeringan. Di sepanjang
airan sungai sudah sangat susah ditemukan kayu besar,” papar Rico.
Berdasarkan penuturan penjaga pintu air
bendungan PLTA Kuranji, Abu Tasar, sumber galodo berasal dari dua
sungai bertemu di bendungan tersebut yaitu Padangkaruah dan
Padangjaniah. Sekitar pukul 17.00 WIB, 24 Juli 2012, air pada
Padangjaniah membesar dengan membawa serta material kayu lumpur dan
bebatuan. Berlanjut pada pukul 19.00, air dari Padangkaruah dan
Padangjaniah membesar.
“Saat banjir bandang, Abu Tasar
menceritakan, ketinggian debit air dari dasar embung bendungan (PLTA
Kuranji) mencapai 4 meter. Akibatnya, terjadi pendangkalan sungai dan
pelebaran sungai karena besarnya debit air. Sehingga PLTA Kuranji
tidak berfungsi,” ulas Rico.
Terhadap temuan itu, Sekber PA Sumbar
mendesak Pemko Padang dan Pemprov Sumbar secepatnya membersihkan
material kayu di sepanjang aliran sungai, terutama di DAS Padangjaniah.
“Perlunya ekspedisi lanjutan karena berdasarkan informasi masyarakat,
ada sumber air panas dari hulu Sungai Padangkaruah. Melakukan
penelitian lebih lanjut terkait retakan-retakan di punggungan Bukit
Ngalau dan Bukit Alu-Alu,” kata Rico. (mg18)