Kamis, 13 September 2012

Sisa Material Galodo

METROPOLIS
Sisa Material Galodo Mengancam
Sekber PA: Illegal Logging Telah Berlangsung Lama
Padang Ekspres • Selasa, 11/09/2012 11:43 WIB • • 360 klik
Tumpukan bekas potongan kayu masih tersisa di sepanjang Batang Kuranji.
Batubusuk, Padek—Banjir bandang atau galodo pada 24 Juli lalu, menyisakan ancaman bencana ekologi yang nyata. Material galodo tak hanyut hingga ke muara, justru me­numpuk di beberapa titik sep­anjang aliran Sungai Padang­janiah, salah satu sumber Batang Kuranji.

Demikian temuan hasil ekspedisi yang dilakukan Se­kretaris Bersama (Sekber) Pecinta Alam Sumatera Barat (Sumbar) di sepanjang aliran Sungai Padangjaniah, bebera­pa hari yang lalu. Tim ekspe­disi yang dikoordinatori Rico Rahmad, beranggotakan  Ha­na­vi, Wilbran, Nof dan Yose.

Tim ekspedisi menemukan banyak titik longsoran di pung­gung-punggung bukit yang berjejer  dari Patamuan hingga perbatasan Kabupaten Solok. Dampak galodo juga me­nye­babkan pelebaran sungai de­ngan skala kecil hingga dua kali lapangan sepakbola.  Ge­londongan kayu bekas dite­bang secara ilegal maupun yang tercerabut dari akarnya karena derasnya arus air me­numpuk di badan sungai yang berjumlah puluhan titik.  Diki­tari bebatuan berdiameter kecil hingga besar sangat po­tensial terbentuknya embung-em­bung, atau titik tumpukan air.

“Galodo juga mengikis ping­­giran sungai sepanjang 8 kilometer ke hulu tersebut. Tak hanya menyebabkan pohon bertumbangan, galodo juga menimbulkan erosi di sejum­lah titik di pinggir sungai.

Di sela-sela punggungan bukit juga bermunculan anak sungai baru yang diduga berasal dari mata air di perbukitan,” jelas Rico Rachmad dalam konfe­rensi pers di Sekratariat Bivac, Ulakkarang, kemarin.

Ekspedisi empat hari ini (31/8 sampai 3-9)  juga me­nemukan kayu dalam proses penebangan, kayu olahan ber­je­nis 6x10 dan 6x12 sekitar 15 kubik kayu.

Berdasarkan observasi, penebangan kayu dilakukan dengan sistem tebang pilih. Meski demikian, pada keting­gian di atas 300 Mdpl, kondisi hutan masih rapat. “Di ke­tinggian 400 Mdpl, tim juga mencium aroma belerang. Se­makin ke atas, aroma tersebut semakin menyengat. Diduga aroma belerang berasal dari arah timur atau dekat perb­a­tasan dengan Kabupaten So­lok. Tim juga menemukan serpihan jenis bebatuan gu­nung api (pembekuan larva) pada ketinggian 600 Mdpl hingga 1.000 Mdpl dan jejak harimau dan rusa pada keting­gian 400 Mdpl hingga 800 Mdpl,” jelasnya.

Menurut analisa tim Sek­ber, galodo disebabkan oleh kon­­disi curah hujan yang sa­ngat besar yang disertai angin ken­­cang yang mengakibatkan run­tuhnya tebing perbukitan dengan ke­miringan 80-90 derajat.

Potensi Bencana

Melihat banyaknya kayu-kayu yang melintang pada aliran sungai dan banyaknya tumpukan kayu-kayu besar, mencapai diameter 4 meter, disertai dengan bebatuan be­sar dan material batu yang menumpuk di sepanjang ali­ran Sungai Padangjaniah, ber­potensi besar terjadi em­bung (titik kumpul air) yang sewak­tu-waktu bisa memicu galodo lebih besar dengan membawa material kayu dan batu.

Di samping itu, beber Rico, masih banyaknya retakan-retakan yang menganga di 7 titik bukit (seperti, Bukit Tin­dawan, Bukit Acak, Bukit Ka­pa­lo Cubadak). Retakan ter­sebut terlihat pada pung­gu­ngan dan lembah per­bukitan. Dampak penebangan kayu di hutan mengakibatkan debit air sungai turun naik, serta de­gradasi pohon penyanggah.

“Sebelum terjadinya ben­cana banjir bandang atau galo­do, di kawasan Batubusuk (aliran Sungai Padangkaruah dan Padangjaniah) hampir tiap hari terjadi pembalakan liar. Menurut seorang pen­duduk yang tidak mau dise­butkan namanya, tiap hari ada sekitar 15 kubik kayu yang dihasilkan dari illegal logging,” ungkap Rico.

Pada umumnya, kayu di­am­bil dari hutan lindung di sekitar area kedua sumber Batang Kuranji tersebut. Dari penelusuran Rico dkk, warga Batubusuk yang berjumlah sekitar 150 KK, 90 persen terlibat dalam penebangan liar tersebut. Proses pengambilan kayu dilakukan secara manual dengan menggunakan gergaji mesin (chin shaw). Jumlah chinshaw yang beroperasi setiap hari mencapai 15 unit dengan 50 orang pekerja.

“Proses pengangkutan ka­yu dilakukan melalui aliran sungai. Setibanya di ben­du­ngan PLTA Kuranji milik PT Semen Padang, kayu-kayu tersebut dihanyutkan melalui boad atau dalam parit yang mengalir hingga ke turbin,” tambah Hanavi.

Penampung kayu hasil illegal logging berada dekat se­buah mushala Patamuan. Di sana kayu diolah dan dijual se­suai pesanan. “Tokenya adalah seorang tokoh masyarakat setempat,” ujar Rico.

Upah pengangkutan kayu Rp 150 ribu per kepala. Bia­sanya tiap tim berjumlah 6 orang­ dengan total biaya ang­kut ke bendungan Rp 800 ribu per kubik. “Menurut warga se­tem­pat, penebangan kayu su­dah ada sejak tahun 1950-an. Aki­bat penebangan liar, sumur ga­li warga sekitar sering me­nga­lami kekeringan. Di sepan­jang airan sungai sudah sangat susah di­temukan kayu besar,” papar Rico.

Berdasarkan penuturan penjaga pintu air bendungan PLTA Kuranji, Abu Tasar, sumber  galodo berasal dari dua sungai bertemu di ben­dungan tersebut yaitu Padang­karuah dan Padangjaniah. Sekitar pukul 17.00 WIB, 24 Juli 2012, air pada Padang­janiah membesar dengan mem­­­bawa serta material kayu lumpur dan bebatuan. Ber­lanjut pada pukul 19.00, air dari Padangkaruah dan Pa­dang­janiah membesar.

“Saat banjir bandang, Abu Tasar menceritakan, keting­gian debit air dari dasar em­bung bendungan (PLTA Ku­ranji) mencapai 4 meter. Aki­batnya, terjadi pen­dangkalan sungai dan pelebaran sungai karena besarnya debit air. Sehingga  PLTA Kuranji tidak berfungsi,” ulas Rico.

Terhadap temuan itu, Sek­ber PA Sumbar mendesak Pemko Padang dan Pemprov Sumbar secepatnya member­sihkan material kayu di sepan­jang aliran sungai, terutama di DAS Padangjaniah. “Perlunya ekspedisi lanjutan karena ber­dasarkan informasi masya­rakat, ada sumber air panas dari hulu Sungai Padang­ka­ruah. Melakukan penelitian lebih lanjut terkait retakan-retakan di punggungan Bukit Ngalau dan Bukit Alu-Alu,” kata Rico. (mg18)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar