minang-saisuak-tuanku-laras-rao-rao
Kali ini rubrik ‘Minang Saisuak’ menurunkan lagi foto seorang Tuanku Laras (TuankuLareh), jabatan administratif bentukan Belanda yang belum banyak dikaji oleh para sejarawan yang meneliti sejarah Minangkabau.
‘Si Kadjo Inan galar Permato Lelo’, demikian nama lengkap dan gelar orang tua yang cukup gagah ini (kata ‘Kadjo’ [Kaya] tampaknya harus dibaca ‘Kayo’, bukan ‘Ka[ra]jo’). Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, riwayat hidupnya adalah sebagai berikut: Si Kayo lahir sekitar tahun 1881. Belum diketahui dari negeri mana ia berasal, tapi sangat mungkin dari Rao-Rao sendiri (sekarang masuk wilayah Kabupaten Tanah Datar). Tampaknya si Kayo telah mendapat pendidikan sekolah Eropa waktu kecil.
“Pada 27 November 1860 ia diangkat djadi Docter Djawa, serta mendjalankan pekerdjaanvaccinateur (menteri cacar) sedjak boelan Februari 1862. Negeri-negeri tempat ia melakoekan dienstnja [tugasnya], ialah: Menindjau, Fort de Kock [Bukittinggi], Solok, Soepajang dan Fort van de Capellen [Batusangkar]. Dalam boelan October 1870 ia ditempatkan kedoea kalinja di-Fort de Kock. Gadjinya bertoeroet-toeroet ƒ10.–ƒ 20.–ƒ 25.–. Dalam tahoen 1870 ia moelai dapat [gaji] ƒ 30.– dan dalam 1872 ƒ 35.–. Dan dalam tahoen 1877 ƒ 40.– seboelan, sesoedahnja 16 tahoen dalam dienst” (Bintang Hindia Thn 4, No. 14, 1 Nov. 1906:174). Kutipan ini memberikan gambaran tentang besarnya gaji dokter Jawa di zaman kolonial.
Si Kayo mulai menjabat sebagai Tuanku Laras (larashoofd) Rao-Rao pada 1877 dengan gaji ƒ 80 sebulan. Ia terbilang pintar dan sangat mahir menunggang kuda. Kesehatannya juga sangat prima. Diceritakan bahwa walau sudah tua dengan uban yang sudah memutih di kepala, si Kayo tetap gesit dan rajin melakukan tugas-tugasnya. Banyak pujian dari Pemerintah Kolonial Belanda dialamatkan kepadanya. Tentu saja, karena sebagai bagian dari rantai administrasi kolonial yang ingin menguasai Minangkabau sampai ke tingkatnagari, Si Kayo dinilai berhasil menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Pada 14 Juni 1877 Pemerintah Kolonial Belanda menganugerahinya bintang perunggu.
Si Kayo adalah salah seorang yang banyak membantu J.W. Ijzeerman dalam penelitiannya di daerah Kuantan dan Siak tahun 1890. Ijzeerman adalah insinyur Belanda yang mencoba merintis pembuatan jalan kereta api dari pedalaman Minangkabau, khususnya dari Sawahlunto, ke arah pantai timur Sumatra. Atas bantuannya itu, Pemerintah Kolonial, berdasarkan besluit no. 17 tertanggal 17 Oktober 1891, menganugerahi Si Kayo lagi penghargaan berupa bintang perak (seperti dapat dilihat dalam foto di atas).
Pada tahun 1906, ketika foto ini dibuat, Si Kayo Inan Gala Parmato Lelo sudah berusia 65 tahun dan sudah 46 tahun berdinas dalam administrasi kolonial Belanda. Belum didapat keterangan kapan ia meninggal.
Kisah hidup Si Kayo merefleksikan peran unik dan kompleks Tuanku Laras di zaman Belanda. Sampai batas tertentu tampaknya mereka juga mengadopsi sedikit cara-cara hidup orang Eropa (lihat misalnya model pakaiannya), tapi di sisi lain mereka adalah datuk-datuk yang yang mempraktekkan adat Minangkabau dalam kehidupannya. Konon pula banyak Tuanku Laras yang punya ‘anak jawi’. Saya bermohon kepada para sejarawan kita, cobalah teliti lebih dalam tentang segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan Tuanku Laras di Minangkabau. Pasti menarik, walau kadang-kadang ‘menepuk air di dulang’.
Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: Bintang Hindia, No. 14. Tahoen Keempat, 1 November 1906:174).
Singgalang, Minggu, 9 Oktober 2011