Minggu, 29 April 2012

Mesjid tertua di padang

ngsung ke: navigasi, cari
Koordinat: 0.95455°LS 100.36942°BT
Masjid Raya Ganting
Masjidrayaganting.jpg Masjid Raya Ganting
Letak Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia
Afiliasi agama Islam
Deskripsi arsitektur
Jenis arsitektur Masjid
Gaya arsitektur Neoklasik Eropa
Arah fasad Tenggara
Tahun selesai 1810
Spesifikasi
Menara 2
Masjid Raya Ganting sebelum memiliki dua menara sekitar tahun 1900-1923
Masjid Raya Ganting adalah salah satu masjid tertua di Indonesia yang terletak di Jalan Ganting No. 3, kelurahan Ganting, kecamatan Padang Timur, Kota Padang, Sumatera Barat.[1] Masjid ini didirikan pada tahun 1805 dan selesai pada tahun 1810, sehingga menjadi masjid tertua di kota Padang. Masjid Raya Ganting termasuk bangunan yang selamat dari hantaman gelombang tsunami akibat gempa bumi Sumatera pada tahun 1833.
Sejak abad ke-19, Masjid Raya Ganting mulai banyak dikunjungi beberapa pejabat tinggi negara, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tercatat dari beberapa pejabat negara yang pernah berkunjung sekaligus melaksanakan salat di Masjid Raya Ganting antara lain Soekarno, Mohammad Hatta, Hamengkubuwana IX, Achmad Syaichu, Abdul Haris Nasution, dan beberapa tokoh lainnya. Pada tahun 1942, Soekarno pernah menginap di salah satu rumah yang ada di belakang masjid, bahkan memberikan pidato di masjid ini.
Saat ini, selain digunakan sebagai aktifitas ibadah umat Islam, masjid satu lantai ini juga digunakan sebagai sarana pendidikan agama dan pesantren kilat bagi pelajar. Bahkan telah menjadi salah satu daya tarik wisata yang terkenal di kota Padang. Di halaman masjid ini sebelumnya juga terdapat lembaga pendidikan Thawalib yang didirikan oleh Abdul Karim Amrullah pada tahun 1921.

Daftar isi

Pembangunan

Sebelumnya pada tahun 1790, letak masjid ini adalah di tepi Batang Arau, tepatnya di kaki Gunung Padang. Masjid dengan bentuk bangunan yang sangat sederhana ini dibuat dari bahan kayu dan atap yang dibuat dari rumbia. Masjid ini kemudian dihancurkan oleh pemerintah Hindia-Belanda akibat dari kebijakan pembuatan jalan ke pelabuhan Teluk Bayur. Tidak lama setelah itu, masjid ini kembali dibangun di lokasi yang sekarang yang berjarak sekitar 4 kilometer dari lokasi sebelumnya.[2] Pembangunan kembali tersebut diprakasai oleh tokoh masyarakat setempat, dimana pada tahun 1805 telah disepakati untuk mulai membangun masjid di tanah wakaf 7 suku yang diserahkan melalui Gubernur Jenderal Ragen Bakh, penguasa Hindia-Belanda di Sumatera Barat pada waktu itu. Dengan dukungan banyak pihak dan bantuan dari para saudagar dan ulama Minangkabau baik yang ada di Sumatera Barat maupun diluar Sumatera Barat, pada tahun 1810 pembangunan kembali Masjid Raya Ganting dapat diselesaikan.
Keberadaan masjid yang saat itu masih terlihat sederhana ini mendapat dukungan penuh dari salah seorang anggota Corps Genie Belanda berpangkat kapten yang menjabat sebagai Komandan Genie wilayah Gouvernement Sumatra's Westkust (wilayah yang meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli sekarang). Sehingga dilakukanlah pembuatan bagian depan (fasad) masjid yang mirip dengan benteng Spanyol. Selain itu, lantai masjid yang terbuat dari batu kali bersusun diplester tanah liat juga diganti dengan semen yang didatangkan dari Jerman. Kemudian pada tahun 1900, dimulailah pemasangan tegel dari Belanda yang dipesan melalui N.V. Jacobson van Berg. Pemasangan tegel tersebut ditangani oleh tukang yang ditunjuk langsung oleh pabrik dan selesai pada tahun 1910. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembuatan menara pada bagian kiri dan kanan masjid yang selesai pada tahun 1967. Sebelum kedua menara itu selesai, pada tahun 1960 juga telah dilakukan pemasangan keramik pada 25 tiang ruang utama yang aslinya terbuat dari batu bata. Dinding di ruang utama juga dipasangi keramik, namun pada tahun 1995.

Sejarah

Dalam perjalanan sejarah Kota Padang, masjid ini turut memberikan andil. Selain lokasi pengembangan agama Islam di pulau Sumatera, juga pernah dijadikan lokasi Jambore Hizbul Wathan se-Indonesia pada tahun 1932. Kemudian menjadi tempat embarkasi haji pertama di Sumatera Tengah melalui pelabuhan Emmahaven (sekarang Teluk Bayur).[3]
Pada tahun 1918 seluruh ulama di Minangkabau mengadakan pertemuan di Masjid Raya Ganting untuk membahas langkah-langkah yang akan ditempuh dalam melaksanakan pemurnian ajaran agama Islam dari pemahaman mistik dan khufarat. Selanjutnya pada tahun 1921, Abdul Karim Amrullah mendirikan sekolah Thawalib di dalam pekarangan masjid sebagai sarana pendidikan agama bagi masyarakat kota Padang saat itu, dimana alumninya kemudian mendirikan Persatuan Muslim Indonesia (Permi) yang merupakan cikal bakal Partai Masyumi.
Pada tahun 1942, Jepang mulai menduduki Indonesia, saat itu Soekarno yang ditahan Belanda di Bengkulu diungsikan ke Kutacane. Namun sesampainya di Painan, tentara Jepang sudah lebih dahulu menduduki Bukittinggi, sehingga Belanda merubah rencana semula dengan mengungsi ke Barus dan meninggalkan Sukarno di Painan. Selanjutnya oleh Hizbul Wathan yang saat itu bermarkas di Masjid Raya Ganting, menjemput Sukarno untuk dibawa ke Padang dengan menggunakan kendaraan pedati. Beberapa hari kemudian Sukarno dibawa ke Padang dan menginap di salah satu rumah pengurus Masjid Raya Ganting.
Selama pendudukan tentara Jepang di Sumatera Tengah, masjid ini menjadi tempat pembinaan prajurit Gyugun dan Hei Ho yang merupakan kesatuan tentara pribumi yang dibentuk oleh Jepang.

Arsitektur

Atap Masjid Raya Ganting
Arsitektur Masjid Raya Ganting merupakan perpaduan dari berbagai corak arsitektur sebab pengerjaannya melibatkan beragam etnik seperti Persia, Timur Tengah, Cina, dan Minangkabau.
Masjid Raya Ganting berdiri di atas lahan seluas 102 x 95,6 meter persegi. Masjid ini memiliki halaman yang cukup luas untuk menampung banyaknya jamaah yang melaksanakan Salat Ied di Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Di sebelah selatan dan belakang masjid terdapat beberapa makam, salah satu makam yang ada di selatan masjid adalah makam Angku Syekh Haji Uma, salah satu pemrakasa pembangunan kembali Masjid Raya Ganting.
Bangunan masjid ini berbentuk persegi panjang yang simetris berukuran 42 x 39 meter. Bangunan terbagi atas serambi muka, serambi kanan, serambi kiri, dan ruang utama. Soko guru atau tiang utama masjid berjumlah 25 buah yang berbentuk segi enam dengan diameter 40 sampai 50 cm dan tinggi mencapai 4,2 meter. Tiang-tiang yang terbuat dari beton ini sama sekali tidak menggunakan tulang besi, sehinga banyak yang mulai retak akibat gempa.[4]
Tatanan atap masjid berupa atap susun berundak-undak sebanyak 5 tingkat. Ada celah di tiap bagian atap untuk pencahayaan. Tingkat pertama berbentuk segi empat. Sedangkan tingkat dua sampai empat berbentuk segi delapan. Tukang-tukang Cina sempat dikerahkan untuk mengerjakan atap kubah yang mirip bangunan atap Vihara Cina ini.

Referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar